I.
PENDAHULUAN
Jawa
merupakan wilayah Indonesia yang paling padat. Dari sekian banyaknya penduduk
Jawa hampir seluruhnya adalah umat Islam, baik yang benar-benar Islam maupun
yang hanya sekedar “Islam KTP”. Kebesaran Islam yang kini nikmat dirasakan oleh
umatnya di Jawa ini tentunya tak lepas dari sejarah masuknya Islam ke Pulau
ini.
Sebelum
Islam masuk, Jawa adalah wilayah yang dikuasai oleh kepercayaan Animisme dan
dinamisme serta pengaruh dari budaya Buddhisme dan Hinduisme. Bagaimanapun
pengaruh itu cukup sulit diganti dengan ajaran-ajaran selainnya, tak terkecuali
ajaran Islam. Pengaruh itu diperkuat lagi keagungan politik Kerajaan- Kerajaan
Hindu- Budha. Kesimpulan ini berdasarkan fakta bahwa pengaruh Islam yang sudah
mulai masuk ke Jawa pada abad ke-7 M baru terlihat nyata pada sekitar abad
ke-15 M. Hampir sekitar delapan abad Islam di Jawa hanya terbatas dipeluk oleh
golongan kecil-kecil di sekitar pesisir utara Jawa.
Sumber pertama berbentuk afrtefak melalui penelitian arkeologi,
dan sumber kedua adalah dari teks-teks historigrafi tradisional.
Telaah sumber sejarah dalam bentuk artefak dalam tulisan ini hanya mengandalkan pada apa
yang telah banyak diteliti
para arkeolog, sedangkan untuksumber tradisional tulisan ini langsung menelaah teks-teks babad.
Pada yang pertama mungkin tidak banyak dijumpai kesulitan.
Tapi pada sumber
yang kedua, sebagaimana sifat teks-teks babad
yang bercorak tradisional,
maka tulisan pada bagian ini lebih panjang lebar dan cenderung rumit.[1]
Dari
kenyataan tersebut, terbayang betapa pantang menyerahnya para penyebar Islam di
Jawa ini berusaha menghapus ajaran-ajaran sebelumnya hingga dapat menyalinnya
dengan nilai- nilai Islam. Oleh karena itu, penting dirasa untuk kita
mengetahui perjuangan para Pendakwah Islam di Jawa ini agar tumbuh di sanubari
kita rasa syukur dan menghargai perjuangan mereka itu.
II. RUMUSAN MASALAH
1. Proses Masuknya Islam ke Jawa
2. Walisongo sebagai Pendakwah Islam di Jawa
3. Strategi Dakwah Islam di Jawa
III. PEMBAHASAN
A. Proses Masuknya
Islam ke Jawa
Masuknya
Islam ke Jawa tentunya tak lepas dari pembahasan tentang masuknya Islam ke
Indonesia. Sedangkan pembahasan tentang
Masuknya Islam ke Indonesia sendiri adalah lahan perbedaan pendapat yang tidak
akan ada hentinya. Perdebatan itu meliputi masalah tempat asal datangnya Islam,
pembawanya, dan waktu kedatangannya. Berkaitan tentang tempat asal kedatangan Islam
ke Indonesia, para sejarawan umumnya terbagi menjadi dua, yakni Timur Tengah
dan Anak Benua India. Sampai sekarang, masing-masing kubu kedua teori ini masih
dalam perdebatan. Berkaitan dengan pembawanya, mayoritas ahli sejarah
menyatakan bahwa penyebar Islam di Indonesia adalah para pedagang, kaum sufi
dan pengamal tarekat. Sementara berkaitan dengan waktunya, diperkirakan
berkisar pada abad ke-12 M sampai 16 M Islam mulai melebarkan sayapnya,
meskipun Islam sudah menyentuh Indonesia pada abad ke-7 M.[2]
Secara
rinci dan kronologis, Islam pertama dibawa oleh para pedagang pada sekitar abad
7 M. Pengembangan selanjutnya, pedagang-pedagang muslim itu melakukan
perkawinan dengan wanita-wanita pribumi. Dengan pembentukan keluarga muslim
ini, maka tercipta komunitas muslim kecil
yang nantinya akan memainkan andil besar dalam penyebaran Islam. Dari
sekian perkawinan tersebut, ada sebagian pedagang yang melakukan perkawinan
dengan keluarga bangsawan lokal sehingga tercipta peluang nantinya keturunan
mereka pada akhirnya mencapai kekuasaan politik yang dapat digunakan untuk
penyebaran Islam.[3]
Ada
juga yang berpendapat , para sufi pengembara yang memainkan peran utama dalam
proses penyebaran Islam di Indonesia. Faktor utama masuknya Islam para pribumi
adalah kreativitas para sufi dalam menyajikan Islam dalam kemasan yang atraktif
yakni dengan menekankan aspek fleksibilitas ajaran Islam serta kompatibilitas
dengan mistisisme setempat (ajaran tasawuf).[4]
KetikaIslam
telah masuk ke Istana dan para penguasa lokal telah memeluk Islam yaitu tepatnya
pada sekitar abad ke -15 M, maka para penguasa tersebut yang berperan besar
dalam proses penyebaran Islam di kawasan Indonesia, Khususnya Jawa. Islamisasi
tidak hanya dilakukan lewat strategi kultural melainkan juga menggunakan
strategi struktural yakni melalui jaring-jaring kekuasaan. Penaklukan demi
penaklukan terus berlangsung sepanjang sejarah sejak Islam mendapat ruang
politik dan berkesempatan memegang kendali sebuah dinasti. Di wilayah Jawa
barat adalah kesultanan Cirebon dan banten yang terus memperluas kekuasaan
Islamnya ke wilayah Pajajaran dan Pasundan. Rezim Giri di Gresik juga
memperluas wilayahnya di Jawa Timur, bahkan sampai ke wilayah luar Jawa.
Sementara Demak dengan antusiasnya terus mengislamkan basis-basis Hinduisme dan
Buddhisme di pedalaman Jawa Tengah.[5]
Diantara
Kerajaan – Kerajaan Islam yang paling berpengaruh adalah Demak sebagai pusat
dakwah Islamiyah di pulau Jawa. Kerajaan Islam inilah yang mampu meruntuhkan
Kerajaan Majapahit yang merupakan basis Hinduisme terbesar di Jawa. Menurut Babat
Tanah Jawi Serangan atas Majapahit dipimpin langsung oleh Raden Patah (yang
mulanya adalah adipati Demak Bintoro) bersama saudara tirinya, Adipati Terung.
Mereka menyerukan perang suci kepada sekutu muslim mereka dan mereka kemudian
berkumpul di Bintara (Demak), dalam kanto kejadian dilukiskan yang apabila
diartikan berarti[6]:
1. Arya Teja dari Tuban telah tiba dan bergabung
dengan mereka di Bintara, bersama tenataranya, dan juga orang-orang Islam yang
mengabdi pada Sunan Ampel dan Sunan giri
2. Bupati Musli dari Madura , Arya Baribin,
bergabung dengan rakyat Bintara, bersama semua orangnya, ketika mereka telah
siap untuk berperang, kemudian tiba Adipati Surabaya
3. Setelah tiba dengan tentaranya, dan semua
pejuangnya, dia bergabung dengan mereka yang di Bintara, bersama Sunan Giri
4. Sementara itu sudah tiba raja-pendeta dari
Gresik, Begitu pula saudaranya Sunan Ngampel, ketika semua Pandita telah tiba,
mereka membahas berbagai masalah dengan orang beriman.
5. Sesudah Pembahasan, mereka segera pergi,
menuju Kota Majapahit, tentara maju dalam jumlah besar, bagaikan gelombang pada
waktu laut pasang; ketika mereka tiba di Majapahit, semua orang menjadi hiruk
pikuk.
6. Setelah mereka mengurung Majapahit, banyak
tentaranya membelot; adipati Bintara dan saudaranya masuk lewat pintu Gerbang
Utara; ketika mereka telah masuk di kota, tentara memandangnya dengan
ketakutan.
7. Segera Bra Wijaya dari Majapahit berkata,
terima kasih kepada Tuhan, Anakku Adipati Bintara telah tiba; Marilah Patih,
kita cepat-cepat naik panggung, saya ingin melihat wajah putraku, sang adipati
8. Ya, Patih, saya ingin sekali bertemu dengan
dia, sebab sudah lama aku tak melihat dia; ketika raja sudah naik di atas
panggung dan memendang putranya, kemudian raja
9. Naik ke Surga, Brawijaya dari Majapahit; sang
patih tidak berlama-lama di situ; bersama dengan orang-orangnya , yang masih
menghormati dia sebagai raja mereka; dan ketika keraton telah menjadi kosong,
terdengarlah suara gemuruh keras sekali, sangat menakutkan
10. Bunyi yang menyertai mereka yang naik ke surga
seperti bola api yang jatuh ke laut; bagaikan tertimpa panas yang menyengat,
semua yang di kota, keraton kehilangan pamornya, dan jatuh di Bintara, dengan
guruh
11. Bagaikan guruh, dan menurut orang lain seperti
halilintar ; rakyat bintara ketakutan; mereka mengira hari kiamat telah tiba,
karena kerasnya suara, seakan akan langit hendak runtuh dan menimpa mereka;
beberapa orang pingsan, karena ketakutan yang sangat besar.
12. Adipati Bintara memasuki keraton, tetapi
kosong semua orang telah naik ke surga, mengikuti brawijaya; terkejut dan tidak
dapat berbicara, adipati menangis diam-diam.
13. Karena dia menyadari bahwa itu bapaknya,
adipati Bintara lalu pergi ke luar, dan menyampaikan pengumuman kepada semua
pasukannya, mereka pergi kembali ke Bintara.
Kemudian setibanya di Demak, diadakan
perundingan antara Pangeran Bintara (raden Fatah), orang-orang beriman dan para
wali. Sunan Ngampel mengusulkan agar Pangeran Bintara menjadi penguasa Jawa dan
bertempat tinggal di Demak.
B.
Walisongo Sebagai Pendakwah Islam di Jawa
Pengislaman
Jawa tak lepas dari kerja keras para
mubaligh yang terpadu dalam suatu lembaga dakwah yang bernama Walisongo
(wali = wali/ kawan, songo = Sembilan/ Tsana= terpuji/ sangha (budha) =
kumpulan biksu).[7]Walisongo
sebagai pemeran utama dalam sejarah islamisasi Jawa sebetulnya adalah merupakan
gambaran dari kekuasaan Politik yang ada pada Kerajaan Islam, meskipun dalam
penyampaian ajaran Islam sering disisipkan aspek-aspek kultural setempat.
Walisongo selain sebagai Panotogomo (penata agama : Ulama’) juga sebagai penguasa
politik baik itu menjadi sultan, ataupun sekedar menjadi penasihat politik
Kerajaan.[8]
Menurut buku Haul Sunan Ampel Ke-555 yang ditulis oleh KH.
Mohammad Dahlan, lebih lanjut menyatakan “Majelis Dakwah Yang Secara Umum
Dinamakan Walisongo, Sebenarnya Terdiri Dari Beberapa Angkatan”. Para
Walisongo tidak hidup pada saat yang persis bersamaan, namun satu sama lain
mempunyai keterkaitan erat, baik dalam ikatan darah atau karena pernikahan, maupun
dalam hubungan guru-murid. Bila ada seorang anggota majelis yang wafat, maka
posisinya digantikan oleh tokoh lainnya.Walisongo terbagi menjadi
beberapa periode:[9]
1.
Wali Songo Angkatan Ke-1,
tahun 1404 – 1435 M. Terdiri dari:
a.
Maulana Malik Ibrahim,
asal Samarqand, Rusia Selatan (wafat 1419 M)
b.
Maulana Ishaq, asal
Samarqand, Rusia Selatan
c.
Maulana Ahmad Jumadil
Kubro, asal Mesir
d.
Maulana Muhammad
Al-Maghrabi, asal Maroko
e.
Maulana Malik Isra’il,
asal Turki (wafat 1435 M)
f.
Maulana Muhammad Ali
Akbar, asal Persia, Iran (wafat 1435 M)
g.
Maulana Hasanuddin, asal
Palestina
h.
Maulana ‘Aliyuddin, asal
Palestina
i.
Syekh Subakir, asal Persia
Iran.
2.
Wali Songo Angkatan ke-2,
tahun 1435 – 1463 M, terdiri dari
a.
Sunan Ampel, asal Champa,
Muangthai Selatan (tahun 1419 menggantikan Maulana Malik Ibrahim)
b.
Maulana Ishaq, asal
Samarqand, Rusia Selatan (wafat 1463)
c.
Maulana Ahmad Jumadil
Kubro, asal Mesir
d.
Maulana Muhammad
Al-Maghrabi, asal Maroko
e.
Sunan Kudus, asal
Palestina (tahun 1435 menggantikan Maulana Malik Isra’il)
f.
Sunan Gunung Jati, asal
Palestina (tahun 1435 menggantikan Maulana Muhammad Ali Akbar)
g.
Maulana Hasanuddin, asal
Palestina (wafat 1462 M)
h.
Maulana ‘Aliyuddin, asal
Palestina (wafat 1462 M)
i.
Syekh Subakir, asal Persia
Iran.(wafat 1463 M, makamnya di Iran)
3.
Wali Songo Angkatan ke-3,
1463 – 1466 M, terdiri dari:
a.
Sunan Ampel, asal Champa,
Muangthai Selatan
b.
Sunan Giri, asal
Belambangan,Banyuwangi, Jatim (tahun 1463 menggantikan Maulana Ishaq)
c.
Maulana Ahmad Jumadil Kubro,
asal Mesir (w.1465 M)
d.
Maulana Muhammad Al-Maghrabi,
asal Maroko (w.1465 M)
e.
Sunan Kudus, asal
Palestina
f.
Sunan Gunung Jati, asal
Palestina
g.
Sunan Bonang, asal
Surabaya, Jatim (tahun 1462 menggantikan Maulana Hasanuddin)
h.
Sunan Derajat, asal
Surabaya, Jatim (tahun 1462 menggantikan Maulana ‘Aliyyuddin)
i.
Sunan Kalijaga, asal
Tuban, Jatim (tahun 1463 menggantikan Syaikh Subakir)
4.
Wali Songo Angkatan ke-4,
1466 – 1513 M, terdiri dari:
a.
Sunan Ampel, asal Champa,
Muangthai Selatan (w.1481)
b.
Sunan Giri, asal
Belambangan,Banyuwangi, Jatim (w.1505)
c.
Raden Fattah, asal
Majapahit, Raja Demak (pada tahun 1465 mengganti Maulana Ahmad Jumadil Kubra)
d.
Fathullah Khan (Falatehan),
asal Cirebon (pada tahun 1465 mengganti Maulana Muhammad Al-Maghrabi)
e.
Sunan Kudus, asal
Palestina
f.
Sunan Gunung Jati, asal Palestina
g.
Sunan Bonang, asal
Surabaya, Jatim
h.
Sunan Derajat, asal
Surabaya, Jatim
i.
Sunan Kalijaga, asal
Tuban, Jatim (wafat tahun 1513)
5.
Wali Songo Angkatan ke-5, (1513
- 1533 M), terdiri dari:
a.
Syaikh Siti Jenar, asal
Persia, Iran, wafat tahun 1517)(tahun 1481 Menggantikan Sunan Ampel)
b.
Raden Faqih Sunan Ampel II
( Tahun 1505 menggantikan kakak iparnya, yaitu Sunan Giri)
c.
Raden Fattah, asal
Majapahit, Raja Demak (wafat tahun 1518)
d.
Fathullah Khan (Falatehan),
asal Cirebon
e.
Sunan Kudus, asal
Palestina (wafat 1550)
f.
Sunan Gunung Jati, asal
Cirebon
g.
Sunan Bonang, asal
Surabaya, Jatim, (w.1525 M)
h.
Sunan Derajat, asal
Surabaya, Jatim (w. 1533 M)
i.
Sunan Muria, Asal Gunung
Muria, (tahun 1513 menggantikan ayahnya yaitu Sunan Kalijaga)
6.
Wali Songo Angkatan ke-6, (1533
- 1546 M), terdiri dari:
a.
Syaikh Abdul Qahhar (Sunan
Sedayu), asal Sedayu (Tahun 1517 menggantikan ayahnya, yaitu Syaikh Siti Jenar)
b.
Raden Zainal Abidin Sunan
Demak (Tahun 1540 menggantikan kakaknya, yaitu Raden Faqih Sunan Ampel II)
c.
Sultan Trenggana (tahun
1518 menggantikan ayahnya yaitu Raden Fattah)
d.
Fathullah Khan (Falatehan),
asal Cirebon, (wafat tahun 1573)
e.
Sayyid Amir Hasan, asal
Kudus (tahun 1550 menggantikan ayahnya, yaitu Sunan Kudus)
f.
Sunan Gunung Jati, asal
Cirebon (w.1569)
g.
Raden Husamuddin (Sunan
Lamongan), asal Lamongan (Tahun 1525 menggantikan kakaknya, yaitu Sunan Bonang)
h.
Sunan Pakuan, asal
Surabaya, (Tahun 1533 menggantikan ayahnya, yaitu Sunan Derajat)
i.
Sunan Muria, asal Gunung
Muria, (w. 1551)
7.
Wali Songo Angkatan ke-7,
1546- 1591 M, terdiri dari:
a.
Syaikh Abdul Qahhar (Sunan
Sedayu), asal Sedayu, (wafat 1599)
b.
Sunan Prapen, asal Gresik (tahun
1570 menggantikan Raden Zainal Abidin Sunan Demak)
c.
Sunan Prawoto, Demak (
tahun 1546 Menggantikan ayahnya Sultan Trenggana)
d.
Maulana Yusuf, asal
Cirebon (pada tahun 1573 menggantikan pamannya yaitu Fathullah Khan (Falatehan),
Maulana Yusuf adalah cucu Sunan Gunung Jati)
e.
Sayyid Amir Hasan, asal
Kudus
f.
Maulana Hasanuddin, asal
Cirebon (pada tahun 1569 menggantikan ayahnya, yaitu SunanGunung Jati)
g.
Sunan Mojoagung (tahun
1570 Menggantikan Sunan Lamongan)
h.
Sunan Cendana, asal
Surabaya, (tahun 1570 menggantikan kakeknya, yaitu Sunan Pakuan)
i.
Sayyid Shaleh (Panembahan
Pekaos), asal Surabaya, (tahun 1551 menggantikan kakek dari ibunya, yaitu Sunan
Muria. Sedangkan Sayyid Shaleh adalah Shaleh bin Amir Hasan bin Sunan Kudus)
8.
Wali Songo Angkatan ke-8,
1592- 1650 M, terdiri dari:
a.
Syaikh Abdul Qadir (Sunan
Magelang), asal Magelang, (wafat 1599), menggantikan Sunan Sedayu
b.
Baba Daud Ar-Rumi Al-Jawi,
(1650 menggantikan Gurunya yaitu Sunan Prapen)
c.
Sultan Hadiwijaya (Joko
Tingkir), (tahun 1549 Menggantikan Sultan Prawoto)
d.
Maulana Yusuf, asal
Cirebon
e.
Sayyid Amir Hasan, asal
Kudus
f.
Maulana Hasanuddin, asal
Cirebon
g.
Syaikh Syamsuddin Abdullah
Al-Sumatrani, (tahun 1650 Menggantikan Sunan Mojo Agung)
h.
Syaikh Abdul Ghafur bin
Abbas Al-Manduri, (tahun 1650 menggantikan Sunan Cendana)
i.
Sayyid Shaleh (Panembahan
Pekaos),
9.
Wali Songo Angkatan ke 9,
1650 – 1750M, terdiri dari:
a.
Syaikh Abdul Muhyi
Pamijahan (tahun 1750 menggantikan Sunan Magelang)
b.
Syaikh Shihabuddin Al-Jawi
(tahun 1749 menggantikan Baba Daud Ar-Rumi)
c.
Sayyid Yusuf Anggawi (Raden
Pratanu Madura), Sumenep Madura (Menggantikan mertuanya, yaitu Sultan
Hadiwijaya / Joko Tingkir)
d.
Syaikh Haji Abdur Rauf
Al-Bantani, (tahun 1750 Menggantikan Maulana Yusuf, asal Cirebon )
e.
Syaikh Nawawi Al-Bantani. (1740
menggantikan Gurunya, yaitu Sayyid Amir Hasan bin Sunan Kudus)
f.
Sultan Abulmufahir
Muhammad Abdul Kadir ( tahun 1750 menggantikan buyutnya yaitu Maulana
Hasanuddin)
g.
Sultan Abulmu’ali Ahmad (Tahun
1750 menggantikan Syaikh Syamsuddin Abdullah Al-Sumatrani)
h.
Syaikh Abdul Ghafur bin
Abbas Al-Manduri
i.
Sayyid Ahmad Baidhawi
Azmatkhan (tahun 1750 menggantikan ayahnya, Sayyid Shalih Panembahan Pekaos)
10. Wali Songo Angkatan ke-10, 1751 – 1897 terdiri dari:
a.
Pangeran Diponegoro (
menggantikan gurunya, yaitu: Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan)
b.
Sentot Ali Basyah
Prawirodirjo, (menggantikan Syaikh Shihabuddin Al-Jawi)
c.
Kyai Mojo, (Menggantikan
Sayyid Yusuf Anggawi (Raden Pratanu Madura)
d.
Kyai Kasan Besari, (Menggantikan
Syaikh Haji Abdur Rauf Al-Bantani)
e.
Syaikh Nawawi Al-Bantani.
f.
Sultan Ageng Tirtayasa
Abdul Fattah, (menggantikan kakeknya, yaitu Sultan Abulmufahir Muhammad Abdul
Kadir)
g.
Pangeran Sadeli, (Menggantikan
kakeknya yaitu: Sultan Abulmu'ali Ahmad)
h.
Sayyid Abdul Wahid
Azmatkhan, Sumenep, Madura (Menggantikan Syaikh Abdul Ghafur bin Abbas
Al-Manduri)
i.
Sayyid Abdur Rahman
(Bhujuk Lek-palek), Bangkalan, Madura, (Menggantikan kakeknya, yaitu: Sayyid
Ahmad Baidhawi Azmatkhan)
Tahun 1830 – 1900, Majelis Dakwah Wali Songo dibekukan
oleh Kolonial Belanda, dan banyak para ulama’ keturunan Wali Songo yang
dipenjara dan dibunuh.
C.
Strategipenyebaran
Islam di Jawa[10]
Metode
Islamisasi yang dipakai oleh Walisongo terjadi secara damai, akomodatif dan
lentur, yakni dengan menggunakan unsur-unsur budaya lama (hinduisme- buddhisme)
yang secara tidak langsung dimasukkan nilai-nilai islam ke dalamnya. Metode ini
sering disebut dengan sinkretisme sebagai contoh metode ini adalah:
·
Di bidang ritual: pembakaran kemenyan yang semula menjadi
sarana dalam penyembahan dewa, tetap dipakai oleh Sunan Kalijaga dengan
pemahaman sebatas pengharum ruangan ketika muslim berdoa sehingga doanya bisa
nyaman dan khusyuk.
·
Seni: pembangunan atap masjid yang terdiri atas tiga
lapisan yang kemudian ditafsirkan sebagai simbolisme Iman, Islam dan
Ikhsan.
Selain cara- cara tersebut, adalah
metode-metode melalui:
1. Perkawinan
Menjalin hubungan genealogis (keturunan) dengan berbagai
tokoh pemerintahan. Hal ini semisal seperti yang dilakukan oleh Sunan Ampel
dalam mengawinkan putra-putranya.
2. Pendidikan
Sistem pendidikan pesantren yang dirintis oleh Syekh
Maulana Ibrahim di daerah Gresik ini adalah model pendidikan Islam yang meniru
bentuk pendidikan biara dan pendidikan asrama yang dipakai oleh pendeta biksu.
Konon kata santri adalah berasal dari kata Shastri, yang artinya
dalam bahasa India adalah orang yang
pandai mengetahui buku-buku suci hindu.
3. Pengembangan Budaya Jawa
Penyiaran Islam melalui jalur seni budaya ini dilakukan
oleh Sunan Kalijaga dengan wayangnya dan Sunan Bonang dengan gamelannya. Contoh
lainnya adalah Perayaan Sekaten di Suarakarta dan Yogyakarta sebagai acara
memperingati hari lahir Nabi Muhammad Saw.
4. Dan lain-lain yang meliputi Media politik yang
ada pada Kerajaan Islam serta melalui
Karya tulis sastra.
IV.
KESIMPULAN
Ø Proses Masuknya Islam ke Jawa :
1. Para pedagang Muslim pada sekitar abad 7 M
datang ke Indonesia termasuk Jawa
2. pedagang muslim itu melakukan perkawinan
dengan wanita-wanita pribumi.
3. tercipta peluang keturunan mereka dapat mencapai kekuasaan
politik yang dapat digunakan untuk penyebaran Islam.
4. pada sekitar abad ke -15 M, para penguasa lokal telah memeluk Islam maka
para penguasa tersebut yang berperan besar dalam proses penyebaran Islam di
Jawa. Islamisasi menggunakan strategi struktural yakni melalui jaring-jaring
kekuasaan.
Ø Para Mubalig yang terpadu dalam satu lembaga
yang bernama Walisongo.
Mereka terbagi menjadi beberapa periode
(angkatan)
Ø Strategi penyebaran Islam di Jawa, melalui
beberapa jalan, antara lain: Perkawinan, Pendidikan, Pengembangan Budaya Jawa,
dan lain-lain yang meliputi Media politik serta Karya tulis sastra.
V.
PENUTUP
Segala Puji Bagi Allah Tuhan penguasa alam.
Demikian makalah yang dapat disuguhkan oleh penulis. Penulis menyadari akan
kedangkalan analisisnya sehingga menghasilkan kesimpulan yang jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati penulis mengharap adanya
kritik serta saran dari pembaca agar kesalahan-kesalahan dalam makalah ini
dapat tergantikan oleh kebenaran yang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan.
Selanjutnya, penulis berharap agar makalah ini nantinya dapat berguna bagi
siapa saja yang membacanya.
[2]Sumanto Al Qurtuby, Arus Cina - Islam – Jawa,
Yogyakarta: Inspeal Ahimsyakarya Press, 2003, h. 105-106
[3]Ibid,
[4]Ibid, h. 107
[5]Ibid, h, 109
[6]INIS (Indonesian Netherlands Cooperation in
Islamic Studies), Beberapa Kajian Indoneisa Islam, Jakarta: INIS, 1990,
h. 114-115
[7]Ridin Sofwan, Merumuskan Kembali Interelasi Islam
Jawa, Yogyakarta; Gama Media, 2004, h. 4
[8]Sumanto Al Qurtuby, Op. Cit.h. 110
[10]Ridin Sofwan, Op.cit, h. 5-8
assalamualaikum,,,mau tanya sumber dari tulisan ini dr buku apa ya?
BalasHapus