Senin, 05 Desember 2016

Makalah SEJARAH MASUKNYA ISLAM di JAWA

I.         PENDAHULUAN
            Jawa merupakan wilayah Indonesia yang paling padat. Dari sekian banyaknya penduduk Jawa hampir seluruhnya adalah umat Islam, baik yang benar-benar Islam maupun yang hanya sekedar “Islam KTP”. Kebesaran Islam yang kini nikmat dirasakan oleh umatnya di Jawa ini tentunya tak lepas dari sejarah masuknya Islam ke Pulau ini.
            Sebelum Islam masuk, Jawa adalah wilayah yang dikuasai oleh kepercayaan Animisme dan dinamisme serta pengaruh dari budaya Buddhisme dan Hinduisme. Bagaimanapun pengaruh itu cukup sulit diganti dengan ajaran-ajaran selainnya, tak terkecuali ajaran Islam. Pengaruh itu diperkuat lagi keagungan politik Kerajaan- Kerajaan Hindu- Budha. Kesimpulan ini berdasarkan fakta bahwa pengaruh Islam yang sudah mulai masuk ke Jawa pada abad ke-7 M baru terlihat nyata pada sekitar abad ke-15 M. Hampir sekitar delapan abad Islam di Jawa hanya terbatas dipeluk oleh golongan kecil-kecil di sekitar pesisir utara Jawa.
Sumber pertama berbentuk afrtefak melalui penelitian arkeologi, dan sumber kedua adalah dari teks-teks historigrafi tradisional. Telaah sumber sejarah dalam bentuk artefak dalam tulisan ini hanya mengandalkan pada apa yang telah banyak diteliti para arkeolog, sedangkan untuksumber tradisional tulisan ini langsung menelaah teks-teks babad. Pada yang pertama mungkin tidak banyak dijumpai kesulitan. Tapi pada sumber yang kedua, sebagaimana sifat teks-teks babad yang bercorak tradisional, maka tulisan pada bagian ini lebih panjang lebar dan cenderung rumit.[1]
            Dari kenyataan tersebut, terbayang betapa pantang menyerahnya para penyebar Islam di Jawa ini berusaha menghapus ajaran-ajaran sebelumnya hingga dapat menyalinnya dengan nilai- nilai Islam. Oleh karena itu, penting dirasa untuk kita mengetahui perjuangan para Pendakwah Islam di Jawa ini agar tumbuh di sanubari kita rasa syukur dan menghargai perjuangan mereka itu.



II.      RUMUSAN MASALAH
1.      Proses Masuknya Islam ke Jawa
2.      Walisongo sebagai Pendakwah Islam di Jawa
3.      Strategi Dakwah Islam di Jawa



III.   PEMBAHASAN
A.      Proses Masuknya Islam ke Jawa
            Masuknya Islam ke Jawa tentunya tak lepas dari pembahasan tentang masuknya Islam ke Indonesia.  Sedangkan pembahasan tentang Masuknya Islam ke Indonesia sendiri adalah lahan perbedaan pendapat yang tidak akan ada hentinya. Perdebatan itu meliputi masalah tempat asal datangnya Islam, pembawanya, dan waktu kedatangannya. Berkaitan tentang tempat asal kedatangan Islam ke Indonesia, para sejarawan umumnya terbagi menjadi dua, yakni Timur Tengah dan Anak Benua India. Sampai sekarang, masing-masing kubu kedua teori ini masih dalam perdebatan. Berkaitan dengan pembawanya, mayoritas ahli sejarah menyatakan bahwa penyebar Islam di Indonesia adalah para pedagang, kaum sufi dan pengamal tarekat. Sementara berkaitan dengan waktunya, diperkirakan berkisar pada abad ke-12 M sampai 16 M Islam mulai melebarkan sayapnya, meskipun Islam sudah menyentuh Indonesia pada abad ke-7 M.[2]
            Secara rinci dan kronologis, Islam pertama dibawa oleh para pedagang pada sekitar abad 7 M. Pengembangan selanjutnya, pedagang-pedagang muslim itu melakukan perkawinan dengan wanita-wanita pribumi. Dengan pembentukan keluarga muslim ini, maka tercipta komunitas muslim kecil  yang nantinya akan memainkan andil besar dalam penyebaran Islam. Dari sekian perkawinan tersebut, ada sebagian pedagang yang melakukan perkawinan dengan keluarga bangsawan lokal sehingga tercipta peluang nantinya keturunan mereka pada akhirnya mencapai kekuasaan politik yang dapat digunakan untuk penyebaran Islam.[3]
            Ada juga yang berpendapat , para sufi pengembara yang memainkan peran utama dalam proses penyebaran Islam di Indonesia. Faktor utama masuknya Islam para pribumi adalah kreativitas para sufi dalam menyajikan Islam dalam kemasan yang atraktif yakni dengan menekankan aspek fleksibilitas ajaran Islam serta kompatibilitas dengan mistisisme setempat (ajaran tasawuf).[4]
            KetikaIslam telah masuk ke Istana dan para penguasa lokal telah memeluk Islam yaitu tepatnya pada sekitar abad ke -15 M, maka para penguasa tersebut yang berperan besar dalam proses penyebaran Islam di kawasan Indonesia, Khususnya Jawa. Islamisasi tidak hanya dilakukan lewat strategi kultural melainkan juga menggunakan strategi struktural yakni melalui jaring-jaring kekuasaan. Penaklukan demi penaklukan terus berlangsung sepanjang sejarah sejak Islam mendapat ruang politik dan berkesempatan memegang kendali sebuah dinasti. Di wilayah Jawa barat adalah kesultanan Cirebon dan banten yang terus memperluas kekuasaan Islamnya ke wilayah Pajajaran dan Pasundan. Rezim Giri di Gresik juga memperluas wilayahnya di Jawa Timur, bahkan sampai ke wilayah luar Jawa. Sementara Demak dengan antusiasnya terus mengislamkan basis-basis Hinduisme dan Buddhisme di pedalaman Jawa Tengah.[5]
            Diantara Kerajaan – Kerajaan Islam yang paling berpengaruh adalah Demak sebagai pusat dakwah Islamiyah di pulau Jawa. Kerajaan Islam inilah yang mampu meruntuhkan Kerajaan Majapahit yang merupakan basis Hinduisme terbesar di Jawa. Menurut Babat Tanah Jawi Serangan atas Majapahit dipimpin langsung oleh Raden Patah (yang mulanya adalah adipati Demak Bintoro) bersama saudara tirinya, Adipati Terung. Mereka menyerukan perang suci kepada sekutu muslim mereka dan mereka kemudian berkumpul di Bintara (Demak), dalam kanto kejadian dilukiskan yang apabila diartikan berarti[6]:
1.      Arya Teja dari Tuban telah tiba dan bergabung dengan mereka di Bintara, bersama tenataranya, dan juga orang-orang Islam yang mengabdi pada Sunan Ampel dan Sunan giri
2.      Bupati Musli dari Madura , Arya Baribin, bergabung dengan rakyat Bintara, bersama semua orangnya, ketika mereka telah siap untuk berperang, kemudian tiba Adipati Surabaya
3.      Setelah tiba dengan tentaranya, dan semua pejuangnya, dia bergabung dengan mereka yang di Bintara, bersama Sunan Giri
4.      Sementara itu sudah tiba raja-pendeta dari Gresik, Begitu pula saudaranya Sunan Ngampel, ketika semua Pandita telah tiba, mereka membahas berbagai masalah dengan orang beriman.
5.      Sesudah Pembahasan, mereka segera pergi, menuju Kota Majapahit, tentara maju dalam jumlah besar, bagaikan gelombang pada waktu laut pasang; ketika mereka tiba di Majapahit, semua orang menjadi hiruk pikuk.
6.      Setelah mereka mengurung Majapahit, banyak tentaranya membelot; adipati Bintara dan saudaranya masuk lewat pintu Gerbang Utara; ketika mereka telah masuk di kota, tentara memandangnya dengan ketakutan.
7.      Segera Bra Wijaya dari Majapahit berkata, terima kasih kepada Tuhan, Anakku Adipati Bintara telah tiba; Marilah Patih, kita cepat-cepat naik panggung, saya ingin melihat wajah putraku, sang adipati
8.      Ya, Patih, saya ingin sekali bertemu dengan dia, sebab sudah lama aku tak melihat dia; ketika raja sudah naik di atas panggung dan memendang putranya, kemudian raja
9.      Naik ke Surga, Brawijaya dari Majapahit; sang patih tidak berlama-lama di situ; bersama dengan orang-orangnya , yang masih menghormati dia sebagai raja mereka; dan ketika keraton telah menjadi kosong, terdengarlah suara gemuruh keras sekali, sangat menakutkan
10.  Bunyi yang menyertai mereka yang naik ke surga seperti bola api yang jatuh ke laut; bagaikan tertimpa panas yang menyengat, semua yang di kota, keraton kehilangan pamornya, dan jatuh di Bintara, dengan guruh
11.  Bagaikan guruh, dan menurut orang lain seperti halilintar ; rakyat bintara ketakutan; mereka mengira hari kiamat telah tiba, karena kerasnya suara, seakan akan langit hendak runtuh dan menimpa mereka; beberapa orang pingsan, karena ketakutan yang sangat besar.
12.  Adipati Bintara memasuki keraton, tetapi kosong semua orang telah naik ke surga, mengikuti brawijaya; terkejut dan tidak dapat berbicara, adipati menangis diam-diam.
13.  Karena dia menyadari bahwa itu bapaknya, adipati Bintara lalu pergi ke luar, dan menyampaikan pengumuman kepada semua pasukannya, mereka pergi kembali ke Bintara.
Kemudian setibanya di Demak, diadakan perundingan antara Pangeran Bintara (raden Fatah), orang-orang beriman dan para wali. Sunan Ngampel mengusulkan agar Pangeran Bintara menjadi penguasa Jawa dan bertempat tinggal di Demak.

B.       Walisongo Sebagai Pendakwah Islam di Jawa
            Pengislaman Jawa tak lepas dari kerja keras para  mubaligh yang terpadu dalam suatu lembaga dakwah yang bernama Walisongo (wali = wali/ kawan, songo = Sembilan/ Tsana= terpuji/ sangha (budha) = kumpulan biksu).[7]Walisongo sebagai pemeran utama dalam sejarah islamisasi Jawa sebetulnya adalah merupakan gambaran dari kekuasaan Politik yang ada pada Kerajaan Islam, meskipun dalam penyampaian ajaran Islam sering disisipkan aspek-aspek kultural setempat. Walisongo selain sebagai Panotogomo  (penata agama : Ulama’) juga sebagai penguasa politik baik itu menjadi sultan, ataupun sekedar menjadi penasihat politik Kerajaan.[8]
            Menurut buku Haul Sunan Ampel Ke-555 yang ditulis oleh KH. Mohammad Dahlan, lebih lanjut menyatakan “Majelis Dakwah Yang Secara Umum Dinamakan Walisongo, Sebenarnya Terdiri Dari Beberapa Angkatan”. Para Walisongo tidak hidup pada saat yang persis bersamaan, namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, baik dalam ikatan darah atau karena pernikahan, maupun dalam hubungan guru-murid. Bila ada seorang anggota majelis yang wafat, maka posisinya digantikan oleh tokoh lainnya.Walisongo terbagi menjadi beberapa periode:[9]


1.      Wali Songo Angkatan Ke-1, tahun 1404 – 1435 M. Terdiri dari:
a.    Maulana Malik Ibrahim, asal Samarqand, Rusia Selatan (wafat 1419 M)
b.    Maulana Ishaq, asal Samarqand, Rusia Selatan
c.    Maulana Ahmad Jumadil Kubro, asal Mesir
d.   Maulana Muhammad Al-Maghrabi, asal Maroko
e.    Maulana Malik Isra’il, asal Turki (wafat 1435 M)
f.     Maulana Muhammad Ali Akbar, asal Persia, Iran (wafat 1435 M)
g.    Maulana Hasanuddin, asal Palestina
h.    Maulana ‘Aliyuddin, asal Palestina
i.      Syekh Subakir, asal Persia Iran.
2.      Wali Songo Angkatan ke-2, tahun 1435 – 1463 M, terdiri dari
a.    Sunan Ampel, asal Champa, Muangthai Selatan (tahun 1419 menggantikan Maulana Malik Ibrahim)
b.    Maulana Ishaq, asal Samarqand, Rusia Selatan (wafat 1463)
c.    Maulana Ahmad Jumadil Kubro, asal Mesir
d.   Maulana Muhammad Al-Maghrabi, asal Maroko
e.    Sunan Kudus, asal Palestina (tahun 1435 menggantikan Maulana Malik Isra’il)
f.     Sunan Gunung Jati, asal Palestina (tahun 1435 menggantikan Maulana Muhammad Ali Akbar)
g.    Maulana Hasanuddin, asal Palestina (wafat 1462 M)
h.    Maulana ‘Aliyuddin, asal Palestina (wafat 1462 M)
i.      Syekh Subakir, asal Persia Iran.(wafat 1463 M, makamnya di Iran)
3.      Wali Songo Angkatan ke-3, 1463 – 1466 M, terdiri dari:
a.    Sunan Ampel, asal Champa, Muangthai Selatan
b.    Sunan Giri, asal Belambangan,Banyuwangi, Jatim (tahun 1463 menggantikan Maulana Ishaq)
c.    Maulana Ahmad Jumadil Kubro, asal Mesir (w.1465 M)
d.   Maulana Muhammad Al-Maghrabi, asal Maroko (w.1465 M)
e.    Sunan Kudus, asal Palestina
f.     Sunan Gunung Jati, asal Palestina
g.    Sunan Bonang, asal Surabaya, Jatim (tahun 1462 menggantikan Maulana Hasanuddin)
h.    Sunan Derajat, asal Surabaya, Jatim (tahun 1462 menggantikan Maulana ‘Aliyyuddin)
i.      Sunan Kalijaga, asal Tuban, Jatim (tahun 1463 menggantikan Syaikh Subakir)
4.      Wali Songo Angkatan ke-4, 1466 – 1513 M, terdiri dari:
a.    Sunan Ampel, asal Champa, Muangthai Selatan (w.1481)
b.    Sunan Giri, asal Belambangan,Banyuwangi, Jatim (w.1505)
c.    Raden Fattah, asal Majapahit, Raja Demak (pada tahun 1465 mengganti Maulana Ahmad Jumadil Kubra)
d.   Fathullah Khan (Falatehan), asal Cirebon (pada tahun 1465 mengganti Maulana Muhammad Al-Maghrabi)
e.    Sunan Kudus, asal Palestina
f.     Sunan Gunung Jati, asal Palestina
g.    Sunan Bonang, asal Surabaya, Jatim
h.    Sunan Derajat, asal Surabaya, Jatim
i.      Sunan Kalijaga, asal Tuban, Jatim (wafat tahun 1513)
5.      Wali Songo Angkatan ke-5, (1513 - 1533 M), terdiri dari:
a.    Syaikh Siti Jenar, asal Persia, Iran, wafat tahun 1517)(tahun 1481 Menggantikan Sunan Ampel)
b.    Raden Faqih Sunan Ampel II ( Tahun 1505 menggantikan kakak iparnya, yaitu Sunan Giri)
c.    Raden Fattah, asal Majapahit, Raja Demak (wafat tahun 1518)
d.   Fathullah Khan (Falatehan), asal Cirebon
e.    Sunan Kudus, asal Palestina (wafat 1550)
f.     Sunan Gunung Jati, asal Cirebon
g.    Sunan Bonang, asal Surabaya, Jatim, (w.1525 M)
h.    Sunan Derajat, asal Surabaya, Jatim (w. 1533 M)
i.      Sunan Muria, Asal Gunung Muria, (tahun 1513 menggantikan ayahnya yaitu Sunan Kalijaga)


6.      Wali Songo Angkatan ke-6, (1533 - 1546 M), terdiri dari:
a.    Syaikh Abdul Qahhar (Sunan Sedayu), asal Sedayu (Tahun 1517 menggantikan ayahnya, yaitu Syaikh Siti Jenar)
b.    Raden Zainal Abidin Sunan Demak (Tahun 1540 menggantikan kakaknya, yaitu Raden Faqih Sunan Ampel II)
c.    Sultan Trenggana (tahun 1518 menggantikan ayahnya yaitu Raden Fattah)
d.   Fathullah Khan (Falatehan), asal Cirebon, (wafat tahun 1573)
e.    Sayyid Amir Hasan, asal Kudus (tahun 1550 menggantikan ayahnya, yaitu Sunan Kudus)
f.     Sunan Gunung Jati, asal Cirebon (w.1569)
g.    Raden Husamuddin (Sunan Lamongan), asal Lamongan (Tahun 1525 menggantikan kakaknya, yaitu Sunan Bonang)
h.    Sunan Pakuan, asal Surabaya, (Tahun 1533 menggantikan ayahnya, yaitu Sunan Derajat)
i.      Sunan Muria, asal Gunung Muria, (w. 1551)

7.      Wali Songo Angkatan ke-7, 1546- 1591 M, terdiri dari:
a.    Syaikh Abdul Qahhar (Sunan Sedayu), asal Sedayu, (wafat 1599)
b.    Sunan Prapen, asal Gresik (tahun 1570 menggantikan Raden Zainal Abidin Sunan Demak)
c.    Sunan Prawoto, Demak ( tahun 1546 Menggantikan ayahnya Sultan Trenggana)
d.   Maulana Yusuf, asal Cirebon (pada tahun 1573 menggantikan pamannya yaitu Fathullah Khan (Falatehan), Maulana Yusuf adalah cucu Sunan Gunung Jati)
e.    Sayyid Amir Hasan, asal Kudus
f.     Maulana Hasanuddin, asal Cirebon (pada tahun 1569 menggantikan ayahnya, yaitu SunanGunung Jati)
g.    Sunan Mojoagung (tahun 1570 Menggantikan Sunan Lamongan)
h.    Sunan Cendana, asal Surabaya, (tahun 1570 menggantikan kakeknya, yaitu Sunan Pakuan)
i.      Sayyid Shaleh (Panembahan Pekaos), asal Surabaya, (tahun 1551 menggantikan kakek dari ibunya, yaitu Sunan Muria. Sedangkan Sayyid Shaleh adalah Shaleh bin Amir Hasan bin Sunan Kudus)
8.      Wali Songo Angkatan ke-8, 1592- 1650 M, terdiri dari:
a.    Syaikh Abdul Qadir (Sunan Magelang), asal Magelang, (wafat 1599), menggantikan Sunan Sedayu
b.    Baba Daud Ar-Rumi Al-Jawi, (1650 menggantikan Gurunya yaitu Sunan Prapen)
c.    Sultan Hadiwijaya (Joko Tingkir), (tahun 1549 Menggantikan Sultan Prawoto)
d.   Maulana Yusuf, asal Cirebon
e.    Sayyid Amir Hasan, asal Kudus
f.     Maulana Hasanuddin, asal Cirebon
g.    Syaikh Syamsuddin Abdullah Al-Sumatrani, (tahun 1650 Menggantikan Sunan Mojo Agung)
h.    Syaikh Abdul Ghafur bin Abbas Al-Manduri, (tahun 1650 menggantikan Sunan Cendana)
i.      Sayyid Shaleh (Panembahan Pekaos),
9.      Wali Songo Angkatan ke 9, 1650 – 1750M, terdiri dari:
a.    Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan (tahun 1750 menggantikan Sunan Magelang)
b.    Syaikh Shihabuddin Al-Jawi (tahun 1749 menggantikan Baba Daud Ar-Rumi)
c.    Sayyid Yusuf Anggawi (Raden Pratanu Madura), Sumenep Madura (Menggantikan mertuanya, yaitu Sultan Hadiwijaya / Joko Tingkir)
d.   Syaikh Haji Abdur Rauf Al-Bantani, (tahun 1750 Menggantikan Maulana Yusuf, asal Cirebon )
e.    Syaikh Nawawi Al-Bantani. (1740 menggantikan Gurunya, yaitu Sayyid Amir Hasan bin Sunan Kudus)
f.     Sultan Abulmufahir Muhammad Abdul Kadir ( tahun 1750 menggantikan buyutnya yaitu Maulana Hasanuddin)
g.    Sultan Abulmu’ali Ahmad (Tahun 1750 menggantikan Syaikh Syamsuddin Abdullah Al-Sumatrani)
h.    Syaikh Abdul Ghafur bin Abbas Al-Manduri
i.      Sayyid Ahmad Baidhawi Azmatkhan (tahun 1750 menggantikan ayahnya, Sayyid Shalih Panembahan Pekaos)
10.  Wali Songo Angkatan ke-10, 1751 – 1897 terdiri dari:
a.    Pangeran Diponegoro ( menggantikan gurunya, yaitu: Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan)
b.    Sentot Ali Basyah Prawirodirjo, (menggantikan Syaikh Shihabuddin Al-Jawi)
c.    Kyai Mojo, (Menggantikan Sayyid Yusuf Anggawi (Raden Pratanu Madura)
d.   Kyai Kasan Besari, (Menggantikan Syaikh Haji Abdur Rauf Al-Bantani)
e.    Syaikh Nawawi Al-Bantani.
f.     Sultan Ageng Tirtayasa Abdul Fattah, (menggantikan kakeknya, yaitu Sultan Abulmufahir Muhammad Abdul Kadir)
g.    Pangeran Sadeli, (Menggantikan kakeknya yaitu: Sultan Abulmu'ali Ahmad)
h.    Sayyid Abdul Wahid Azmatkhan, Sumenep, Madura (Menggantikan Syaikh Abdul Ghafur bin Abbas Al-Manduri)
i.      Sayyid Abdur Rahman (Bhujuk Lek-palek), Bangkalan, Madura, (Menggantikan kakeknya, yaitu: Sayyid Ahmad Baidhawi Azmatkhan)
            Tahun 1830 – 1900, Majelis Dakwah Wali Songo dibekukan oleh Kolonial Belanda, dan banyak para ulama’ keturunan Wali Songo yang dipenjara dan dibunuh.

C.      Strategipenyebaran Islam di Jawa[10]
            Metode Islamisasi yang dipakai oleh Walisongo terjadi secara damai, akomodatif dan lentur, yakni dengan menggunakan unsur-unsur budaya lama (hinduisme- buddhisme) yang secara tidak langsung dimasukkan nilai-nilai islam ke dalamnya. Metode ini sering disebut dengan sinkretisme sebagai contoh metode ini adalah:
·         Di bidang ritual: pembakaran kemenyan yang semula menjadi sarana dalam penyembahan dewa, tetap dipakai oleh Sunan Kalijaga dengan pemahaman sebatas pengharum ruangan ketika muslim berdoa sehingga doanya bisa nyaman dan khusyuk.
·         Seni: pembangunan atap masjid yang terdiri atas tiga lapisan yang kemudian ditafsirkan sebagai simbolisme Iman, Islam dan Ikhsan.     
Selain cara- cara tersebut, adalah metode-metode melalui:
1.      Perkawinan
Menjalin hubungan genealogis (keturunan) dengan berbagai tokoh pemerintahan. Hal ini semisal seperti yang dilakukan oleh Sunan Ampel dalam mengawinkan putra-putranya.   
2.      Pendidikan
Sistem pendidikan pesantren yang dirintis oleh Syekh Maulana Ibrahim di daerah Gresik ini adalah model pendidikan Islam yang meniru bentuk pendidikan biara dan pendidikan asrama yang dipakai oleh pendeta biksu. Konon kata santri adalah berasal dari kata Shastri, yang artinya dalam bahasa India  adalah orang yang pandai mengetahui buku-buku suci hindu.
3.      Pengembangan Budaya Jawa
Penyiaran Islam melalui jalur seni budaya ini dilakukan oleh Sunan Kalijaga dengan wayangnya dan Sunan Bonang dengan gamelannya. Contoh lainnya adalah Perayaan Sekaten di Suarakarta dan Yogyakarta sebagai acara memperingati hari lahir Nabi Muhammad Saw.
4.      Dan lain-lain yang meliputi Media politik yang ada pada Kerajaan Islam serta  melalui Karya tulis sastra.





















IV.             KESIMPULAN
Ø  Proses Masuknya Islam  ke Jawa :
1.      Para pedagang Muslim pada sekitar abad 7 M datang ke Indonesia termasuk Jawa
2.      pedagang muslim itu melakukan perkawinan dengan wanita-wanita pribumi.
3.      tercipta peluang  keturunan mereka dapat mencapai kekuasaan politik yang dapat digunakan untuk penyebaran Islam.
4.      pada sekitar abad ke -15 M,  para penguasa lokal telah memeluk Islam maka para penguasa tersebut yang berperan besar dalam proses penyebaran Islam di Jawa. Islamisasi menggunakan strategi struktural yakni melalui jaring-jaring kekuasaan.
Ø  Para Mubalig yang terpadu dalam satu lembaga yang bernama Walisongo.
Mereka terbagi menjadi beberapa periode (angkatan)
Ø  Strategi penyebaran Islam di Jawa, melalui beberapa jalan, antara lain: Perkawinan, Pendidikan, Pengembangan Budaya Jawa, dan lain-lain yang meliputi Media politik serta Karya tulis sastra.

V.                PENUTUP
            Segala Puji Bagi Allah Tuhan penguasa alam. Demikian makalah yang dapat disuguhkan oleh penulis. Penulis menyadari akan kedangkalan analisisnya sehingga menghasilkan kesimpulan yang jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati penulis mengharap adanya kritik serta saran dari pembaca agar kesalahan-kesalahan dalam makalah ini dapat tergantikan oleh kebenaran yang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan. Selanjutnya, penulis berharap agar makalah ini nantinya dapat berguna bagi siapa saja yang membacanya. 



[1]M. Darori Amin, Islam danKebudayaanJawa, Yogyakarta, Gema Media, CetakanPertama, Tahun 2000

[2]Sumanto Al Qurtuby, Arus Cina - Islam – Jawa, Yogyakarta: Inspeal Ahimsyakarya Press, 2003, h. 105-106
[3]Ibid,
[4]Ibid, h. 107
[5]Ibid, h, 109
[6]INIS (Indonesian Netherlands Cooperation in Islamic Studies), Beberapa Kajian Indoneisa Islam, Jakarta: INIS, 1990, h. 114-115
[7]Ridin Sofwan, Merumuskan Kembali Interelasi Islam Jawa, Yogyakarta; Gama Media, 2004, h. 4
[8]Sumanto Al Qurtuby, Op. Cit.h. 110
[10]Ridin Sofwan, Op.cit, h. 5-8

1 komentar:

  1. assalamualaikum,,,mau tanya sumber dari tulisan ini dr buku apa ya?

    BalasHapus